...
"Beli apa?" Mars tiba-tiba nongol di samping Vena.
""Kosmetik."
"Ini, Mbak." Si pramuniaga muncul lagi dengan beberapa kemasan.
Vena memeriksa satu-persatu.
"Nggak sekalian krim malemnya, Mbak? Ini ada produk keluaran baru. Mengandung ekstrak bengkoang dan vitamin E. Bisa memutihkan dan mengencangkan kulit loh."
"Dia udah putih dan kenceng kok," sembur Mars.
Pramuniaga tersenyum keki.
"Aku mau, Mbak," ujar Vena tanpa berpikir dua kali.
"Ven, kamu gampang kena tipu juga ya?"
"Nipu gimana, Mas?" si pramuniaga kesal. Agak tersinggung. "Siapa yang mau nipu?"
"Katanya, produk ini bisa memutihkan dan mengencangkan. Lah, Mbak sendiri item gitu kok." Suara Mars cukup mengagetkan. Bukan cuma suaranya yang tajam, tapi juga pernyataan yang kelewatan itu.
Wajah si pramuniaga memerah.
"Ini produk keluaran baru, Mas. Aku juga belum nyoba."
"Belum nyoba kok nawarin ke orang."
"Mahal, Mas."
Beberapa mata pelanggan yang sedang mencoba produk kosmetika, tertuju pada Mars. Pramuniaga nampak panik, kuatir pelanggannya tidak jadi membeli.
"Udah, Mbak. Berapa semuanya?" Vena jadi malu. Diliriknya Mars dengan pandangan nyinyir.
"Jadinya yang mana, Mbak?"
"Pesanan yang tadi. Foundation warna gading satu, pelembab dua, krim malem juga dua."
"Banyak banget?!" Mars masih ribut.
Pramuniaga pura-pura cuek. Memencet-mencet kalkulator. Menaksir harga belanjaan Vena.
"Dua ratus sepuluh ribu rupiah, Mbak."
"Haah!" teriak Mars. "Cuma produk kemasan kecil kayak gitu nyampe dua ratusan ribu?"
Pramuniaga makin kewalahan dengan tingkah Mars.
"Kamu ini kalo jual yang bener."
Vena mendelik sewot. "Mars! Apaan sih?"
Mereka benar-benar jadi tontonan gratis.
"Kamu juga! Ven, pada dasarnya semua wanita itu udah cantik. Tinggal gimana mengasah kecantikan dalemnya. Inner beauty itu lebih penting. Buat apa luarnya bagus tapi bodoh? Bloon? Lagian kamu mau ngeluarin duit dua ratus ribu lebih cuma untuk barang kayak gini? Di luar sana, duit segitu berharga banget, Ven! Bisa buat beli beras sembilan puluh kilo. Bisa buat makan beberapa bulan."
"Mars, cukup!" Vena benar-benar malu.
Beberapa pelanggan meninggalkan counter. Tidak jadi membeli. Pramuniaga menampakkan tampang sangarnya.
"Kamu bisa prihatin dikit, nggak siih? Mikir dong. Nyari dit itu susah. amu aja duit masih nodong ortu, uda bergaya beli produk mahal nggak jelas kayak gitu."
"Beberapa pengunjung masih memperhatikan percakapan itu.
Vena buru-buru membuka dompet. Mengeluarkan beberapa lembar puluhan ribu. Menyerahkan ke pramuniaga. Mangambil produk. Lalau menarik lengan Mars, cepat-cepat menghilang dari situ.
"Norak!" semprot Vena. "Kamu tuh apa-apaan sih?"
"Kamu yang apa-apaan?"
"Aneh!"
"Cewek kok belanja gak pake logika."
"Biarin! Duitnya duit aku kok."
"Iya, tapi nodong ortu."
"Ada fasilitas ya dimanfaatin dong."
"Sok kaya!"
"Lagian, nggak malu tadi diliatin orang gitu?"
"Nggak!"
"Kalo mau ceramah, liat-liat sikon dong. Jangan di tempat umum kayak gitu. Malu tau nggak."
"Biar mereka juga sadar."
"Aku jadi nyesel jalan sama kamu."
"Aku juga jadi males jalan sama kamu."
"Nyebelin!"
"Kamu tuh yang nyebelin. Belanja kayak kesurupan."
"Sok ngatur."
"Ven, tanpa produk mahal itu, tampil polos apa adanya pun, bagiku kamu tetep cantik kok. Cantik alami, bukan karena polesan, itu lebih murni. Kecantikan hati jauh lebih bercahaya ketimbang kecantikan lahiriah. Kalo dari dalem kamu udah cantik, dengan sendirinya akan memancar ke luar. Lagi pula, ini jaman udah susah. Orang lain kerja keras nyari duit. Jadi tukang batu berhari-hari misalnya, untuk hasil yang nggak seberapa. Kamu di sini malah seenaknya buang-buang duit untuk beli produk semahal itu. Dipake sebentar udah habis. Prihatin dikit dong, Ven! Kalo mereka memandang gaya hidupmu yang seperti ini, hati mereka pasti sakit banget!"
...
Kisah Indah Vena Mars, halaman 107-112
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan komentarnya ^_^